UNDANG-UNDANG NARKOTIKA
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1997
Tentang Narkotika
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang hni yang dimaksud dengan:
1.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
2.
Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat,
menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk narkotika termasuk
mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi
obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5.
Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8.
Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara moda,
atau sarana angkutan apapun.
9.
Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran
sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
10.
Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta
penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11.
Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke
negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik
Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan satu atau tanpa berganti
sarana angkutan.
12.
Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
13.
Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan
narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika
apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15.
Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotik.
16.
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
18.
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan
dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui
telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
1.
Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan
narkotika.
2. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
3.
Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk
pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
4.
Ketentuan lebih lanjtt mengenai perubahan penggolongan narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika
Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
1.
Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan
narkotika.
2. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
3.
Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk
pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
BAB III
PENGADAAN
BAGIAN PERTAMA : RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN
Pasal 6
1.
Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
2.
Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap
tahun.
3.
Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara
nasional.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 7
1.
Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi
dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana
kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
2.
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab
Menteri Kesehatan.
BAGIAN KEDUA : PRODUKSI
Pasal 8
1.
Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika
kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan
pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil
akhir dari proses narkotika.
3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan
pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
1.
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam
proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan
pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
2.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi
dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat
terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
BAGIAN KETIGA : NARKOTIKA UNTUK ILMU PENGETAHUAN
Pasal 10
1.
Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan,
ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah maupun Swasta, yang secara khusus atau yang salah satu
fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan,
dapat memperoleh, menenm, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam
rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri
Kesehatan.
2.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
BAGIAN KEEMPAT : PENYIMPANGAN DAN PELAPORAN
Pasal 11
1.
Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik
obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,
dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
2.
Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaaanya.
3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan
tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
4.
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif
oleh Menteri Kesehatan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Sumber : http://safir78.wordpress.com/2009/03/13/undang-undang-narkotika-no-22-tahun-1997/
By : Hisyam Al Haris SMK KESEHATAN SURABAYA
0 komentar:
Posting Komentar